5 Rezim Diktator Negara Arab Yang Bakal Runtuh Menyusul Tunisia
Related Posts
Rezim Bouteflika, AlJazair
 Menurut Foreign Policy, Abdul Aziz Bouteflika,  telah menjabat sebagai Presiden Aljazair sejak  tahun 1999 dan pada  tahun 2009, ia mengubah konstitusi sehingga ia  dapat mempertahankan  jabatannya untuk periode ketiga. Partai-partai  oposisi Aljazair  memboikot pemilu tersebut.
Menurut Foreign Policy, Abdul Aziz Bouteflika,  telah menjabat sebagai Presiden Aljazair sejak  tahun 1999 dan pada  tahun 2009, ia mengubah konstitusi sehingga ia  dapat mempertahankan  jabatannya untuk periode ketiga. Partai-partai  oposisi Aljazair  memboikot pemilu tersebut.Saat  ini Abdul Aziz Bouteflika yang telah menginjak usia 73 tahun dikabarkan  sudah sakit-sakitan dan saudaranya menyatakan siap untuk menggantikan  posisinya.
Bouteflika mampu  mengakhiri perang  saudara di Aljazair yang berlangsung selama 10 tahun  dan mampu  meningkatkan hubungan negaranya dengan kekuatan di Afrika dan  Eropa.  Namun ia gagal dalam memberantas kelompok separatis yang  berafiliasi  dengan AlQaeda. Ia juga tidak berhasil mencegah  pengeroposan lembaga-lembaga demokratis di negaranya.
Pada  bulan Januari, Aljazair menyaksikan aksi demonstrasi luas sama dengan  yang terjadi di Tunisia.  Warga memprotes meningkatnya harga komoditi  dan juga krisis  pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah  pemerintah menetapkan  kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain  itu, sudah lama rakyat  Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi  kekayaan negara.
Tak ayal ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.
Menurut  Foreign Policy, meski rezim Bouteflika  tidak demokratis, namun  kondisinya tidak separah rezim Ben Ali di  Tunisia. Oleh karena itu,  kondisi saat ini masih sulit bagi kelompok  oposisi untuk menggulingkan  rezim berkuasa. Selain itu, serikat-serikat  buruh dan kelompok-kelompok  oposisi Aljazair tampak sungkan mendukung  demonstrasi warga.
AKSI PROTES di MESIR. 
Rezim Mubarak, Mesir
 Foreign  Policy menganalisa kondisi saat ini akan menggiring Mesir menuju jurang  sama yang dihadapi rezim Ben Ali di Tunisia. Sudah selama tiga dekade  rezim Hosni Mubarak,  berkuasa di Mesir. Karena seluruh undang-undang  terkait kondisi darurat  negara ini memberikan keleluasaan kepada  Mubarak untuk mengotak-atik  pelaksanaan pemilu secara arbitrer.
Foreign  Policy menganalisa kondisi saat ini akan menggiring Mesir menuju jurang  sama yang dihadapi rezim Ben Ali di Tunisia. Sudah selama tiga dekade  rezim Hosni Mubarak,  berkuasa di Mesir. Karena seluruh undang-undang  terkait kondisi darurat  negara ini memberikan keleluasaan kepada  Mubarak untuk mengotak-atik  pelaksanaan pemilu secara arbitrer.Namun  saat ini, rezim Mubarak tengah  tergelincir. Firaun berusia 82 tahun  itu menghadapi berbagai masalah  kesehatan. Di sisi lain, persaingan  antara Gamal Mubarak, putra Presiden  Mesir, dan Omar Sulaiman, Ketua  Dinas Rahasia Mesir, juga semakin  menguat.
Akan  tetapi kondisi saat ini sangat  tidak menguntungkan bagi rezim  berkuasa. Masalah keadilan sosial,  pengangguran, dan kenaikan harga  komoditi, lagi-lagi menjadi pemicu  gelombang unjuk rasa di Mesir.  Terinspirasi dari aksi bunuh diri yang di  Tunisia yang memantik  revolusi, hingga kini tiga warga Mesir tewas  dengan cara membakar diri.
Protes  yang digelar secara nasional di  Mesir yang dijuluki “Hari Kemarahan”  itu telah menjadi momok bagi rezim  Mubarak. Betapa tidak, meski telah  dilarang dan diaman hukuman,  masyarakat enggan menghentikan aksi protes  dan menuntut lengsernya rezim  ala-Firaun Mubarak.
Rezim Renta Ghadafi, Libya
 Setelah membahas Aljazair dan Mesir, Foreign Policy menyinggung kondisi di Libya. Era pemerintahan Moammar Ghadafi dinilai   telah melebihi usia kekuasaan seluruh pemerintahan di dunia saat ini.   Ia berkuasa di Libya pada tahun 1969, melalui sebuah kudeta militer.
Setelah membahas Aljazair dan Mesir, Foreign Policy menyinggung kondisi di Libya. Era pemerintahan Moammar Ghadafi dinilai   telah melebihi usia kekuasaan seluruh pemerintahan di dunia saat ini.   Ia berkuasa di Libya pada tahun 1969, melalui sebuah kudeta militer.Di  bawah kekuasaannya, Libya menjadi  salah satu negara terbesar pelanggar  hak asasi manusia dan negara paling  tidak demokratis. Di negara ini  tidak ada kebebasan media dan dari  kelompok oposisi, yang tertinggal  hanyalah nama dan kenangan belaka.
Lebih  lanjut Foreign Policy menambahkan,  meski untuk mendapatkan informasi  detail tentang kondisi di Libya  sangat sulit, namun sejumlah laporan  dan rekaman video menunjukkan bahwa  demonstrasi warga di ibukota cukup  menjadi bukti tingginya tingkat  ketidakpuasan rakyat Libya atas rezim  berkuasa. Padahal sebelumnya,  protes merupakan kata yang hampir tidak  pernah didengar dari Libya.
Untuk  mengantisipasi seperti apa yang  terjadi di Tunisia, Mesir, dan  Aljazair, pemerintah Libya langsung  melakukan impor komoditi secara  massif dan bahkan mencabut sejumlah  batasan. 15 Januari lalu, Ghadafi  dalam pidatonya mengecam revolusi di  Tunisia. Dalam beberapa pidato,  Ghadafi menyebut mantan diktator  Tunisia, Zine Al Abidine Ben Ali  sebagai saudara dekat.
Kemungkinan Revolusi Sudan
 Sudan menjadi negara keempat yang dinilai Foreign Policy berpotensi menghadapi kebangkitan masyarakat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir   dalam dua dekade pemerintahannya, menjadi “guru besar dalam menebar   perpecahan dan berkuasa”. Dengan lihai al-Bashir mengadu   kelompok-kelompok yang menentangnya dan dalam membasmi segala bentuk   ancaman.
Sudan menjadi negara keempat yang dinilai Foreign Policy berpotensi menghadapi kebangkitan masyarakat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir   dalam dua dekade pemerintahannya, menjadi “guru besar dalam menebar   perpecahan dan berkuasa”. Dengan lihai al-Bashir mengadu   kelompok-kelompok yang menentangnya dan dalam membasmi segala bentuk   ancaman.15 tahun  pertama pemerintahan al Bashir,  berlalu dengan perang saudara antara  kawasan utara dan selatan negara  ini. Memasuki milenium, muncul  pemberontakan dari Darfur, dan al-Bashir  mempersenjatai sebuah kelompok  milisi untuk memerangi para separatisan  Darfur.
Wilayah  Sudan Selatan saat ini tengah  menanti hasil referendum soal pemisahan  kawasan itu dari Sudan Utara.  Al-Bashir berjanji akan menerima hasi  referendum.
Al-Bashir yang  mampu mengendalikan  kondisi di wilayah selatan, tampaknya kini  menghadapi kendala baru yaitu  kehilangan pendukung secara bertahap.  Hasan al-Turabi, ketua partai  oposisi pada pidatonya dalam aksi unjuk  rasa tanggal 17 Januari lalu  menyampaikan pesan kepada al-Bashir dan  mengatakan, “Apa yang yang  terjadi di Tunisia adalah peringatan. Ini  dapat terjadi di Sudan. Jika  tidak, maka akan terjadi pertumpahan darah  besar-besaran di Sudan.”
Al-Bashir  dihimpit dua krisis besar saat  ini. Pertama jika Sudan Selatan  memisahkan diri, maka kondisi negaranya  akan semakin sulit mengingat  sebagian besar sumber minyak terletak di  wilayah selatan. Kedua, di  wilayah selatan pun, al-Bashir mulai  kehilangan pendukung. Upayanya  untuk mengurangi defisit bujet negara  dilaukan dengan memotong subsidi  bahan bakar dan komoditi utama.  Kenaikan harga tersebut yang akhirnya  menyeret para mahasiswa  berdemonstrasi.
Ratu Jordania Siap-Siap Mengungsi ke Jeddah
 Negara   kelima yang menurut Foreign Policy diperkirakan akan menghadapi   gelombang protes hingga runtuhnya pemerintahan adalah Jordania. Raja  Jordania, Abdullah II,  merupakan salah satu sekutu utama  Amerika Serikat di kawasan dan  menjadi “makelar perdamaian” antara  Otorita Ramallah di Palestina dan  rezim Zionis Israel. Abdullah yang  merupakan jebolan Amerika Serikat itu  berkuasa di Jordania pasca Perang  Dunia II.
Negara   kelima yang menurut Foreign Policy diperkirakan akan menghadapi   gelombang protes hingga runtuhnya pemerintahan adalah Jordania. Raja  Jordania, Abdullah II,  merupakan salah satu sekutu utama  Amerika Serikat di kawasan dan  menjadi “makelar perdamaian” antara  Otorita Ramallah di Palestina dan  rezim Zionis Israel. Abdullah yang  merupakan jebolan Amerika Serikat itu  berkuasa di Jordania pasca Perang  Dunia II.Kondisi  saat ini di Jordania  hampir sama dengan yang dialami di Tunisia dan  Mesir. Parlemen baru  Jordania hingga kini masih menghadapi krisis  pengangguran yang  persentasenya mencapai angka dua digit. Selain itu  banyak pengamat yang  meragukan kelanggengan kekuasaan Abdullah II.
Pada  tanggal 16 Januari lalu, sekitar  3.000 warga berdemonstrasi di depan  gedung parlemen negara ini dalam  rangka memprotes kebijakan ekonomi.  Mereka meneriakkan slogan “Jordania  bukan hanya untuk orang-orang kaya  saja”, “Roti adalah garis merah kami,  kalian harus memperhatikan  kemarahan dan kelaparan kami.”
Ratu  Jordania menyampaikan pesan melalui  internet yang mengimbau warga  untuk menjaga ketenangan. Sikap itu  direaksi keras oleh warga Jordania,  bahkan di antaranya mengimbau  keluarga kerajaan untuk menyiapkan rumah  di Jeddah, Arab Saudi. Jeddah,  adalah kota tujuan mantan diktator  Tunisia, Zine al Abidine Ben Ali,  setelah tersungkur dari jabatannya.
 



 






 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar: